Pentingnya Shalat

Pentingnya Shalat

Apa pentingnya Shalat? Ada banyak dalil tentang shalat di dalam AlQuran, misalnya

  • Dzaalikal Kitaabu laa raiba fiih, Hudallilmuttaqiin. Alladziina yu`minuuna bil ghaibi wa yuqiimuunashshalaata wa mimmaa razaqnaaHum yunfiquun. (Albaqarah : 2-3).
  • Wa aqiimushshalaata wa aatuzzakaata warka ‘uu ma ‘arraaki ‘iin. (Albaqarah : 43).
  • Wasta ‘iinuu bishshabri washshalaah....(Albaqarah : 45).
  • Qad aflahal mu`minuun. Alladziina Hum fii shalaatiHim khaasyi’uun. (Almu`minuun : 1-2).
  • Fashalli li rabbika wanhar. (Alkautsar : 2).
  • Dan banyak lagi...

Dari semua dalil itu, Insya Allah saya sampaikan tiga saja pada kesempatan ini. Tetapi sebelum kita mulai, saya ingin bertanya apakah kawan-kawan pernah mengalami satu momen (satu saat) dalam hidup yang secara logika tidak mungkin anda lupakan ? Apakah itu saat pertama masuk sekolah, atau berjumpa orang penting, berfoto bersama artis, memenangkan penghargaan, dll... Saya pernah, yaitu pada saat bersalaman dengan Gubernur Provinsi Sumatera Utara yang waktu itu Syamsul Arifin. Secara logika hal itu tidak mungkin saya lupakan, walaupun Syamsul Arifin “hanya” seorang gubernur.

Nabi Musa juga pernah mengalami hal tersebut, yaitu pada saat ia pertama kali menerima wahyu di Lembah Suci Thuwa.

Salah satu mu’jizat Nabi Musa ialah berkata-kata langsung dengan ALLAH (tanpa perantaraan Jibril). Secara logis, manusia yang pernah berjumpa dengan seorang gubernur tidaklah lupa akan gubernur tersebut, apalagi Nabi Musa yang berkata-kata langsung dengan ALLAH, mustahil dia lupa akan ALLAH.

Tetapi, di dalam Surah ThaaHaa ayat 14 ALLAH berfirman: Innaniii anallaaHu Laaa ilaaHa illaaa ana fa’budnii wa aqiimishshalaata li dzikrii (14). (Sesungguhnya AKU, AKU adalah ALLAH tidak ada TUHAN selain AKU maka mengabdilah kepada – KU dan dirikanlah shalat untuk mengingat – KU).

Surah ThaaHaa tersebut bercerita tentang saat Nabi Musa menerima wahyu di Lembah Suci Thuwa. Yang mana mustahil diterima akal bahwa nabi Musa akan melupakan ALLAH, tetapi ALLAH sendiri memerintahkan Nabi Musa agar mendirikan shalat untuk mengingat – NYA. Artinya, ingatan seperti itu saja pun belum cukup bagi Nabi Musa. Untuk mengingat ALLAH dengan sebenar-benarnya Nabi Musa harus shalat.

Itu dalil pertama, sebelum sampai kepada dalil kedua saya ingin bercerita.

Pada awalnya kiblat Ummat Islam bukanlah ke Ka’bah (Masjidil Haram) seperti sekarang ini, melainkan ke Masjidil Aqsha di Kota Yerussalem di Palestina. Kota Yerussalem itu berada di sebelah utara Madinah dan Madinah itu di sebelah utara Mekkah. Pada saat di Mekkah, Nabi biasa shalat di sebelah selatan Ka’bah agar pada saat menghadap kiblat (Masjidil Aqsha) Nabi juga sekaligus menghadap Ka’bah. Setelah Nabi hijrah ke Madinah sekitar 16 atau 17 bulan setelah Nabi berada di Madinah, ALLAH memerintahkan untuk berkiblat ke Ka’bah (Masjidil haram).

Melihat pemindahan kiblat ini, orang-orang kafir dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik mencemooh orang-orang Islam dengan mengatakan “Sia- sialah shalat kamu yang telah lalu”. Mereka mengatakan demikian seolah-olah ALLAH tidak menghitung shalat-shalat Kaum Muslimin pada saat masih berkiblat ke Masjidil Aqsha.

ALLAH membantah mereka dalam Surah Albaqarah ayat 143 : Dan demikian (pula) KAMI telah menjadikan kamu (Ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Sang Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu Dan KAMI tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar KAMI mengetahui siapa yang mengikuti Sang Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh ALLAH, dan ALLAH tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya ALLAH MAHA PENGASIH lagi MAHA PENYAYANG kepada manusia (143).

ALLAH menjawab “Dan ALLAH tidak akan menyia-nyiakan imanmu” di dalam Surah Albaqarah ayat 143 yang merupakan bantahan atas kalimat mereka yang menyatakan “Sia-sialah shalat kamu”. Seharusnya, secara grammatikal kata yang diletakkan di dalam Surah Albaqarah itu adalah “ALLAH tidak akan menyia-nyiakan shalat kamu”. Tetapi tidak, ALLAH mengganti kata shalat dengan kata iman di dalam Surah Albaqarah.

Hal ini menunjukkan bahwa ALLAH menyamakan antara iman dan shalat. Janganlah kita berharap ALLAH akan memperlakukan kita sebagaimana janji – NYA kepada orang-orang yang beriman (apakah itu surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai atau kemenangan yang besar, keberuntungan yang banyak, dll...) kalau kita tidak shalat. Ini dalil kedua.

Sebelum masuk dalil ketiga, saya juga ingin bercerita kembali tetapi kali ini tentang sastra arab klasik.

Sastra arab klasik memiliki perbedaan dengan sastra pada umumnya. Misal, dalam sastra modern penyusunan kalimat memakai pola S-P-O-K (Subjek-Predikat-Objek- Keterangan), walaupun terkadang “predikat” atau “keterangan” berada di depan (di posisi “subjek” seharusnya) yang mana ini penyusunan yang salah dan tidak lazim secara grammatikal (tata bahasa).

Sebagai contoh : Nanda makan nasi di dapur. Nanda (S) makan (P) nasi (O) di dapur (K). Urutan tak lazimnya adalah Di dapur, Nanda makan nasi (K-S-P-O). Sementara dalam sastra arab klasik yang lazim, “subjek” tidak harus selalu di depan. Posisi yang lebih di depan (awal) dalam kalimat biasanya diisi oleh hal yang lebih penting atau yang menjadi pokok pembicaraan dalam kalimat.

Kata “Rabb” adalah kata yang amat sangat penting. Di dalam Alquran, saat ALLAH pertama kali memperkenalkan diri - NYA kepada kita dan mengambil persaksian terhadap jiwa kita, DIA menggunakan kata “Rabb”, “Alastu birabbikum...” (Bukankah AKU ini Rabb – mu ?...) (Al-A’raaf : 172).

Saat ALLAH memperkenalkan diri untuk pertama kali kepada Nabi Musa (Nabi Musa pertama kali menerima wahyu), ALLAH juga menggunakan kata “Rabb”, ”Inniii ana rabbuka...” (Sesungguhnya AKU Rabb – mu...) (ThaaHaa : 12).

Saat ALLAH menurunkan wahyu pertama kepada Nabi Muhammad s.a.w. (ayat Alquran yang pertama turun) ALLAH juga menggunakan kata “Rabb”, bahkan kata “Rabb” muncul sampai dua kali sementara kata “ALLAH” belum muncul satu kali pun, “ Iqra` bismi rabbikalladzii khalaq. Khalaqal insaana min ‘laq. Iqra` wa rabbukal akram. Alladzii ‘allama bil qalam. ‘Allamal insaana maa lam ya’lam.” (Al-‘Alaq : 1-5).

Tapi saat kata “ALLAH” muncul, kata “Rabb” dikesampingkan, menunjukkan bahwa kata “ALLAH” jauh lebih penting dari kata “Rabb”. Contoh, di tiga surah terakhir dalam susunan mushaf, “Qul HuwallaaHu ahad”, “Qul a’uudzu bi rabbil falaq”, “Qul a’uudzu bi rabbinnaas”, kata “ALLAH” muncul duluan baru diikuti munculnya kata “Rabb” sampai dua kali. Contoh kedua, dalam Surah Alfaatihah, ”AlhamdulillaaHi rabbil’aalamiin”. Kata “ALLAH” muncul terlebih dahulu di depan kata “Rabb”, padahal kata “Rabb” adalah kata yang penting, tapi saat muncul nama “ALLAH”, kata “Rabb” ditulis (muncul) belakangan.

Sekarang kita sampai kepada dalil yang ketiga. Ini adalah surah yang amat sangat terkenal.

“Qul inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaaHi rabbil’aalamiin” (Katakanlah sesungguhnya shalatku dan ibadahku dan hidupku dan matiku untuk ALLAH, Rabb semesta alam) (Al-An’aam : 162).

Pertanyaannya, kata apa yang duluan muncul ? Benar, kata “shalat” baru diikuti oleh kata “ibadah”,”hidup”,dan “mati”.

*NB : Nusuk berarti ibadah, perbedaannya dengan kata ‘ibaadah adalah, kata nusuk biasa digunakan untuk segala sesuatu baik yang asalnya adalah ibadah maupun asalnya non ibadah. Contoh : Makan bukanlah sesuatu yang asalnya ibadah, tetapi kalau kita makan sebelum shalat dengan niat agar pada saat shalat tidak terganggu akan lapar dan lebih tenang dalam mengerjakan shalat, maka makan tersebut menjadi bernilai ibadah. Makan di sini tergolong nusuk.

Contoh lain nusuk, buang air kecil dengan jongkok, terhitung ibadah karena ada hadits Rasulullah s.a.w. Sedangkan contoh ‘ibaadah adalah shalat, puasa, zakat, haji, membaca Alquran, berdzikir, berdoa, dll... Semua ‘ibaadah sudah termasuk dalam klasifikasi nusuk (jadi sebenarnya shalat, puasa, zakat, dll... juga bagian dari nusuk).

Mati adalah sesuatu yang besar. Bahkan mematikan orang (membunuh) termasuk salah satu dosa yang paling besar. Alquran diturunkan sebagai petunjuk untuk diikuti agar manusia bisa mati secara baik dan mendapatkan kehidupan yang baik sesudah mati. Tetapi hidup lebih penting daripada mati, sebab bagaimana kita menjalani hidup menentukan bagaimana cara kita mati dan di mana kita akan ditempatkan sesudah mati.

Hidup adalah sesuatu yang penting, tetapi ibadah kita lebih penting. Bahkan ALLAH memisahkan kata hidup dengan ibadah, yang mana secara akal sehat ibadah juga bagian dari hidup, tetapi tidak, bahkan ALLAH sendiri memisahkan antara ibadah dan kehidupan. Ibadah adalah sesuatu yang amat sangat penting, tetapi shalat kita itu jauh lebih penting. Shalat juga merupakan bagian dari ibadah dan hidup, tetapi ALLAH memisahkan antara ketiganya, menunjukkan seperti itulah PENTINGNYA SHALAT.

Kesimpulan:

  1. Nabi Musa yang tidak mungkin lupa akan ALLAH juga diperintahkan shalat untuk mengingat ALLAH membuktikan bahwa ingatan seperti apapun tidak akan pernah cukup untuk mengingat ALLAH melainkan dengan shalat.
  2. Jangan harap ALLAH akan memperlakukan kita sebagaimana janji – NYA kepada orang-orang yang beriman kalau kita tidak shalat.
  3. Qul inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaaHi rabbil ‘aalamiin.
Pentingnya Shalat

author

Salam sehat dan tetap produktif.