Artinya:
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat dari Tuhannya, lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.
Surah Al-Kahfi ayat 57 ini menerangkan tentang orang-orang yang tidak mendapatkan Hidayah. Sebelum membahas lebih lanjut, penting sekali bagi kita untuk mengetahui apa definisi dari Hidayah.
Secara bahasa, Hidayah berarti petunjuk. Tetapi dalam pengertian yang lebih dalam, para ulama kita menjelaskan tentang Hidayah ini berdasarkan informasi yang ada di dalam Surah Al-Fatihah.
*Catatan : Para ulama memiliki pendapat yang berbeda tentang yang manakah Ayat 1 dari Surah Al-Fatihah. Pendapat pertama, Ayat 1 adalah BismillaaHirrahmaanirrahiim. Pendapat kedua, Ayat 1 Al-Fatihah adalah AlhamdulillaaHirabbil ‘aalamiin. Tetapi yang pasti Al- Fatihah adalah 7 ayat. Pembahasan mengenai hal ini tidak akan diterangkan di sini. Dalam tulisan ini, saya mengikuti ulama yang mengatakan bahwa Ayat 1 Al-Fatihah adalah AlhamdulillaaHirabbil ‘aalamiin. Tetapi bagi yang berpendapat bahwa Ayat 1 adalah BismillaaHIrrahmaanirrahiim, Insya ALLAH anda akan mendapati makna tulisan ini tidak berubah.
Perhatikan terjemahan Surah Al-Fatihah berikut ini:
- Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam;
- Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang;
- Yang Menguasai hari pembalasan
- Hanya Engkaulah Yang Kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan
- Tunjukilah kami (IHdinaa) jalan yang lurus
- (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka
- bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat
Kata IHdinaa (berilah kami Huda / HidaayaH) muncul di ayat 5 Surah Al-Fatihah. Maka untuk memahami apa itu Hidayah, para ulama kita menafsirkannya dari ayat-ayat sebelumnya. Ayat 1-3 adalah Ilmu. Bayangkan suatu kaum yang belum pernah diutus Rasul kepada mereka dan kepada bapak-bapak mereka, mereka tidak mengetahui Siapa itu ALLAH. Apa itu semesta alam. Apa itu Hari Pembalasan. Mereka belum pernah mendengar istilah-istilah ini sebelumnya. Maka Ayat 1-3 Al-fatihah meng-ilmu-kan (mengajarkan) tentang hal tersebut. Sementara ayat 4 merupakan ‘Amal (perbuatan). Menyembah dan meminta pertolongan adalah suatu amal / perbuatan.
Maka, para ulama kita mendefinisikan Huda di ayat 5 sebagai Ilmu + Amal (Ilmu yang disertai dengan Amal). Sebab apabila seseorang berilmu pengetahuan tidak menjamin bahwa ia akan beramal. Contohnya saja, “hampir” semua Umat Muslim mengetahui bahwa Shalat 5 waktu adalah wajib, dan meninggalkannya berdosa serta diancam dengan siksa. Tetapi tidak semua Umat Muslim taat beramal mengerjakan Shalat 5 waktu. Maka:
- Tidak berilmu dan tidak beramal tidak bisa disebut sudah mendapat Hidayah.
- Berilmu tanpa beramal juga berarti tidak mendapat Hidayah.
- Tidak berilmu tetapi beramal (beramal tanpa ilmu) adalah sesat. Jelas tidak dapat Hidayah.
- Hidayah adalah Ilmu yang datang terlebih dahulu, baru kemudian diamalkan (dilakukan). Bukan sebaliknya, beramal dulu asal-asalan baru mulai belajar ilmunya.
Sekarang, kita sudah mengetahui bagaimana para ulama kita mendefinisikan Hidayah. Selanjutnya, yang perlu kita ketahui adalah, inti dari Agama Islam hanya 2 hal. Yaitu Aamanuu wa ‘Amiluushshaalihaat (Beriman dan berbuat baik. Amal shaleh artinya perbuatan baik). Aamanuu mencakup Rukun Iman semuanya (Iman kepada ALLAH, Malaikat, Kitab- Kitab, Nabi dan Rasul, Hari Akhir, dan Takdir). ‘Amilushshaalihaat mencakup Rukun Islam semuanya dan tambahannya (Dua Kalimat Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat, Haji, dan tambahannya yaitu Membaca Al-Quran, Berdikir, Berinfak, dll...).
Maka, Hidayah (petunjuk) ini pun ada 2. Yaitu Hidayah dalam beriman dan Hidayah dalam beramal. Setiap dan masing-masing Muslim sudah diberi Hidayah dalam iman, tetapi belum tentu semua diberi Hidayah dalam amal (misalnya orang yang tidak Shalat pada contoh sebelumnya). Tetapi orang-orang kafir bahkan tidak memiliki Hidayah dalam iman.
Sekarang kita kembali ke Surah Al-Kahfi Ayat 57, yaitu Ayat yang menerangkan tentang orang-orang yang tidak mendapat Hidayah selama-lamanya. Ayat ini mirip dengan Surah Al-Baqarah Ayat 6-7, yang artinya:
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan mereka tidak akan beriman (6) ALLAH telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat (7) (Terjemahan Alquran, Surah Al-Baqarah 6-7)
Perbedaannya adalah, ALLAH menggunakan kata Alladziina kafaruu (orang-orang yang kafir) saat di Surah Al-Baqarah, sementara di Surah Al-Kahfi ayat 57 ini kata Alladziina kafaruu atau kaafiruun atau musyrikuun atau munaafiquun tidak digunakan. ALLAH menggunakan istilah yang lebih umum di sini, yaitu “Orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat TUHAN – nya lalu dia berpaling daripadanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya”. Sungguhpun yang dimaksud oleh ayat ini adalah Ahli Kitab (yahudi dan nasrani) dan musyrikin (penyembah berhala) seperti yang disinggung di Ayat 4 Surah Al-Kahfi ini, tetapi ayat ini juga menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman karena sifat “umum” nya. Maksudnya, karena tidak digunakannya kata-kata seperti kata Alladziina kafaruu atau kaafiruun atau musyrikuun atau munaafiquun, maka orang-orang yang tidak mendapat Hidayah di ayat ini bisa termasuk seorang Muslim juga. (Ingat, maksudnya tidak mendapat Hidayah amal bagi seorang Muslim. Sebab setiap Muslim sudah mendapatkan Hidayah iman).
Mengapa Hidayah bisa tidak turun kepada mereka ? Sebab “Innaa ja’alnaa ‘alaa quluubiHim akinnatan an yafqaHuuHu wa fii aadzaaniHim waqraa” (Sesungguhnya KAMI, KAMI telah membuat atas hati mereka tutupan sehingga mereka tidak memahaminya, dan di dalam telinga mereka sumbatan).
Ada 2 kata dalam Bahasa Arab untuk menggambarkan pemahaman :
- FaHmun : Berarti pemahaman, hanya saja pemahaman kulit luarnya saja.
- FaqiH : Pemahaman yang mendalam. Dari kata inilah istilah Fiqih berasal. (Secara sederhana Fiqih dapat diartikan sebagai ilmu tentang pemahaman yang mendalam).
Ayat ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya mengerti terhadap peringatan dengan Ayat-Ayat TUHAN, tetapi hanya sekedar mengerti saja, tidak dengan pengertian yang mendalam. (akinnatan an yafqaHuuHu bukannya akinnatan an yafHamuuHu).
Poin kedua adalah waqraa, berarti sumbatan. Tetapi lebih tepat jika diartikan saringan. Sebab waqraa mengizinkan sebagian informasi melewati telinga pendengarnya tetapi tidak mengizinkan sebagian yang lain. Informasi yang diizinkan lewat adalah FaHmun (pemahaman yang dangkal) dan yang tidak diizinkan lewat adalah Faqih (pemahaman yang mendalam).
Contoh dari teguran yang ada di ayat ini adalah:
- Saat seseorang mendengarkan ceramah, dia mendengarkan ceramah tersebut dan menikmatinya tetapi orang tersebut lebih fokus dengan cara bicara sang penceramah dan sibuk membuat kritik dari penampilan si penceramah tanpa melihat pesan-pesan penting yang disampaikan si penceramah. Kalimat-kalimat seperti “seharusnya ustad itu sampaikan seperti ini, gaya bicaranya terlalu lembut, penyampaiannya kurang menarik, dst...” menunjukkan bahwa sebenarnya si pendengar paham dengan apa yang disampaikan oleh pembicara tetapi tidak fokus dan tidak mengambil pelajaran dan pesan-pesan penting dari isi ceramah.
- Saat Bani Israil mulai menyembah patung sapi yang dikeluarkan oleh Samiri, Nabi
Harun memperingatkan mereka agar tidak menyembah patung itu. Tetapi mereka
tidak mau mendengarkan Nabi Harun karena mereka menunggu Nabi Musa kembali:
Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya, "Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Tuhan kalian ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku.”(90) Mereka menjawab, "Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini hingga Musa kembali kepada kami” (91) (Terjemahan Alquran, Surah ThaaHaa 90-91)
Mereka tidak mau menerima pesan-pesan Nabi Harun karena mereka melihat orangnya (pembawa pesannya), bukan pesannya. Padahal pesan-pesan yang dibawa oleh Nabi Harun dan Nabi Musa adalah sama.
Kedua fenomena inilah yang paling sering kita lihat dikalangan umat Muslim sendiri di zaman ini. Saudara kita ini sibuk mengkritik penceramah dan bukannya menelaah isi ceramahnya. Serta tidak mau menerima peringatan yang disampaikan oleh orang-orang tertentu dan hanya mau mendengar jika yang menyampaikannya adalah orang-orang selain itu, padahal pesan-pesan yang dibawa oleh mereka adalah sama.
Tipe orang yang tidak mau mengambil pelajaran seperti ini walaupun kita menyeru mereka kepada petunjuk, mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya, sampai mereka mau membuka hatinya untuk menelaah pesan-pesan yang disampaikan (bukan sibuk mengkritik penceramahnya dan pilih-pilih penceramah seperti Bani Israil). Sebab, membuka hati adalah amal sesudah ilmu. Maka sesudah dia lakukan hal itu, Insya ALLAH, ALLAH akan turunkan Hidayah.